Inilah salah satu wajah rumah keluarga di pedalaman
Ketapang Simpang Hulu. Sering kali para pemimpin dalam setiap kesempatan omong, “Siapa bilang Ketapang miskin. Kalian sesungguhnya adalah kaya. Ketapang itu kaya. Kata-kata itu sungguh menghibur. Namun,
tak semua bisa merasakan hal tersebut.
Jangankan tidur di tikar, dengan bantal, cukup di galar, dengan atap yang sudah
bolong saja sudah nyaman. Bila gerimis tiba akan membuat resah
dan tak bisa tidur. Apalagi jika hujan
deras bisa-bisa rumah terbang terbawa angin. Nasibmu oh pedalaman yang kaya,
namun rakyatnya miskin…. Ujar sang pemimpin dari mimbar.
Dapur dengan seisinya, mungkin jauh dari asupan gizi.
Mereka juga tidak peduli. Mungkin karena itu, mereka tak pernah merasa risi dan
iri. Ada nasi meski tanpa lauk. Cukup daun singkong, itu sudah modal untuk
mengumpulkan sisa tenaga mencari rejeki kehidupan kembali. Kaya? Ya Ketapang
kaya, tapi rakyat Ketapang miskin, kata pemimpin dalam pertemuan politik.
Rumah seadanya, tapi tak mengeluh. Namun akses jalan kepedalaman yang buruk membuat setiap orang yang lewat mengutuki, mengumpati pemimpinnya agar mampus. Siapa bilang Ketapang Kaya? Siapa pun anda, pasti juga ingin mendapat akses yang baik, minimal jalan, agar bisa menjual hasil kebun dengan mudah. Ingin menyegarkan mata sekadar melihat kota Kecamatan setelah berminggu-minggu bekerja, rasanya berat dan capek. Namun mereka bilang, Ketapang kaya, tapi rakyatnya miskin, kata sang pemimpin dari mimbar., Oh oh
Kampung Meranang,
wilayah antara Sie Bansi dan Empasi, nasibmu memang merana. Semua yang ada kini
sudah diambil oleh orang rakus. Sungai-sungaimu yang dulu jernih kini sudah
keruh dan pekat oleh keraskusan manusia penambang emas tanpa ijin. Sanitasi dan air yang
tidak memadai apalagi memenuhi syarat kesehatan, sudah sulit dijumpai. Makan
sesuap perlu torehan karet dua kilo. Sekali lagi saudara-saudaraku, Ketapang kaya, tapi rakyatnya
miskin, kata sang pemimpin dari mimbar.
Untuk memenuhi kebutuhan makanan pokok
sehari-hari mereka makan dari hasil panen kebun mereka yang tak begitu luas
lagi karena sebagian sudah dijual ke perusahan, seperti jagung, daun pepaya, daun
singkong, , lombok.
Sedangkan untuk keuangan, mereka kadang menoreh, kadang menjadi buruh sawit atau menjual hasil ternak mereka berupa babi, ayam, atau itik. Semuanya menyatu dengan rumah.. Yang jelas mereka tidak pernah mengeluh soal rumah. Meskipun mereka merasa berkekurangan, namun mereka tidak pernah merasa miskin, tapi juga tidak berani mengatakan kaya. Oh pemimpinku(adi)